PERBUATAN-PERBUATAN TUHAN
1. Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap
manusia
Persoalan faham kewajiban-kewajiban tuhan terhadap
manusia menjadi perdebatan aliran-aliran kalam. Kaum Mu'tazilah adalah kaum
yang berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia.
Kewajiban-kewajiban itu disimpulkan dalam satu kewajiban, yakni kewaiban
berbuat baik dan terbaik. Yang di dalamnya. Menurut Mu’tazilah
kewajiban-kewajiban tersebut mesti dilaksanakan oleh Tuhan, kalau tidak maka
Tuhan akan dianggap zalim, aniaya, pemaksa, pendusta, dan sebagainya, hal itu
mustahil bagi Tuhan.
Faham ini timbul akibat dari konsep kaum mu'tazilah
tentang keadilan Tuhan dan berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan
kehendak mutlak Tuhan. Bahwa kekuasan dan kehendak Tuhan itu dibatasi oleh
sifat keadilan Tuhan sendiri. Karena itu Tuhan tidak bisa lagi berbuat menurut
kehendak-Nya sendiri menyalahi prinsip keadilan yang telah ditetapkan oleh
Tuhan sendiri. Tuhan sudah terikat pada janji-janji dan nilai-nilai keadilan,
kalau Tuhan melanggarnya, maka Tuhan dianggap tidak bersifat adil.
Bagi kaum As'ariyah, faham Tuhan mempunyai kewajiban
tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak
berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran
asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat
sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan Al-ghazali,
perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang
mempunyai sifat wajib.
Sefaham dengan kaum Asy'ariyah, kaum Maturidiyah golongan Bukharah berpendapat bahwa tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan.
Bagi Maturidiyah golongan Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Sefaham dengan kaum Asy'ariyah, kaum Maturidiyah golongan Bukharah berpendapat bahwa tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan.
Bagi Maturidiyah golongan Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
2. Berbuat baik dan terbaik
Al-Shalah wa al-Ashalah atau berbuat baik dan terbaik
bagi manusia adalah faham milik kaum Mu'tazilah. Menurut paham Mu’tazilah, demi
untuk keadilan, maka Tuhan wajib berbuat baik bahkan yang terbaik untuk
kepentingan manusia. Keadilan erat sekali hubungannya dengan hak, sebab adil
itu berarti memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Di samping itu
menurut kaum Mu’tazilah, keadilan itu harus dapat diterima secara rasional.
Tuhan memberikan pahala kepada seseorang sesuai dengan kebaikan yang
dilakukannya, dan menghukum seseorang sesuai dengan kejahatan yang
dilakukannya, itu termasuk keadilan yang sesuai dengan pemikiran. Akan tetapi,
kaum Asy'ariah dan kaum Maturidiyah dengan dua golongannya tidak sefaham dengan
hal ini.
3. Beban di luar kemampuan manusia
Bagi kaum Mu’tazilah, paham taqlifu ma la yutaq atau
paham bahwa Tuhan dapat memberikan kepada manusia beban yang tidak dapat
dipikul oleh mereka, tidak dapat diterima, karena paham tersebut bertentangan
dengan paham yang mereka anut, yaitu paham berbuat baik dan terbaik.
Tetapi aliran asy’ariyah menerima faham pemberian beban
diluar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam
Al-luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat di pikul pada
manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah
perbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia,
ditinjau dari sudut faham ini, pemberian beban yang tidak dapat dipikul
tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah manusia dapat melaksanakan
beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya
manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
Kaum Maturidiyah golongan Bukhara hampir sependapat
dengan kaum Asy'ariyah dalam soal kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Oleh
karena itu mereka menerima faham taklif ma la yutaq atau memberi beban
di luar kemampuan manusia. Seperti yang dikatakan al-Bazdawi "tidaklah mustahil
bahwa Tuhan meletakan atas diri manusia kewajiban-kewajiban yang tak dapat
dipikulnya".
Tapi golongan lain dari Maturidiyah, yaitu golongan
Samarkand mengambil posisi dekat dengan Mu'tazilah. Menurut Syarh al-Fiqh
al-Akbar, al-Maturidi tidak setuju dengan Asy'ariyah, karena al-qur'an
mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang
tak dapat dipikul.
4. Pengiriman Rasul-rasul
Bagi Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat
mengetahui hal-hal tentang alam gaib, argumentasi mereka adalah kondisi akal
yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang
Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak
akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
Bagi Asy'ariyah, pengiriman rasul memiliki arti besar,
karena mereka banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam
gaib, bahkan hal-hal yang bersangkutan dengan keduniawian.
Kaum Maturidiyah golongan Bukhara berpendapat pengeriman
rasul tidak bersifat wajib, hanya bersifat mungkin. Dan Maturidiyah golongan
Samarkand sefaham dengan Mu'tazilah, seperti dalam Isyarat al-Maram, al-Bayadi
menjelaskan bahwa banyak yang sefaham dengan mu'tazilah.
5. Janji dan Ancaman
Janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id) adalah termasuk
salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum Mu’tazilah. Janji dan ancaman
tersebut sangat erat hubungannya dengan dasar kepercayaan mereka yang kedua,
yaitu keadilan. Jadi, menurut kaum Mu'tazilah, Tuhan akan bersifat tidak adil
apabila tidak menepati janji-Nya untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik. Demikian pula Tuhan akan bersifat tidak adil apabila tidak melaksanakan ancaman-Nya
untuk memberikan hukuman kepada orang yang berbuat jahat.
Bagi Asy'ariyah faham ini tidak dapat berjalan sejajar
dengan keyakinan mereka tentang taklif
ma la yutaq dan tentang tidak adanya kewajiban bagi Tuhan. Tetapi dalam
al-Qur'an dengan tegas menjelaskan bahwa siapa yang berbuat kebaikan akan masuk
surga dan siapa yang berbuat kejahatn akan masuk neraka. untuk mengatasi ini,
al Asy'ari sendiri diberi interpretasi "bukan semua tapi sebagian".
Yang dimaksudkan adalah kata "siapa" dalam ayat bukan mengandung arti
seluruh tapi sebagian. Yang sebagian terhindar dari ancaman atas dasar
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Dalam hal ini kaum Maturidiyah golongan Bukhara tidak sependapat dengan Asy'ariyah.
al-Bazdawi menjelaskan, tidak mungkin tuhan melanggar janji-Nya memberi upah
kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin Tuhan
membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.
Kontradiksi yang terdapat dalam pendapat al-Bazdawi ini mungkin tibmbul dari
keinginan mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, dan juga
mempertahankan keadilan Tuhan.
Golongan Samarkand mempunyai pendapat yang sama dengan
kaum Mu'tazilah. Seperti yang kita ketahui mereka berpendapat bahwa upah dan
hukuman Tuhan tidak boleh tidak mesti menjadi kelak.
ANALISA DATA
Apakah
Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia?
Menurut
kaum Mu'tazilah Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia atas dasar keadilan
Tuhan. Karena kaum Mu’tazilah menggunakan akal rasional dalam mengkaji
pengetahuan tentang alam ghaib, bila dirasonalkan, manusia menyembah tuhan,
lalu menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya, sebab itu Tuhan juga
harus berbuat baik atau memberikan yang terbaik juga bagi manusia yang
menjalankan perintah-perintah-Nya.
Menurut
Asy’ariyah Tuhan tidak mempunyai kewajiban atas dasar faham kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Dengan kata “mutlak”, sudah jelas bahwa dalam
berbuat sesuatu pada manusia adalah sesuatu yang merupakan kehendak-Nya, tidak
ada unsur paksaan atau kewajiban, karena Ia mutlak berkuasa.
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, memang bila seorang manusia yang menjalankan
perintah-perintah Tuhan akan diberikan nikmat oleh Tuhan, seperti dalam kitab
suci al-Qur’an. Yang didalam yang berisi, bila manusia melakukan perintah dan
menjauhi larangan-Nya akan masuk surga. Tapi dalam hal ini tdak bisa di bilang
“Kewajiban Tuhan”, karena bila Tuhan mempunyai kewajiban berarti Ia bukanlah
Yang Maha Kuasa. Dan harus di ingat Tuhan itu “Maha kuasa”, hal ini bukan
kewajiban, tapi memang itulah sifat Tuhan “Maha Adil”.
Apakah
Tuhan wajib berbuat baik dan memberikan yang terbaik kepada manusia?
Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa Tuhan tidak
memiliki kewajiban, tapi pastilah Tuhan memberikan manusia yang terbaik, namun
tak pada setiap manusia. Hanya pada manusia yang benar-benar beriman
pada-Nyalah, Ia berbuat baik dan memberikan yang terbaik yang sesungguhnya,
seperti memberikan kebahagian dunia dan akhirat. Tapi tidak semua orang-orang
beriman diberikan kebahagiaan dunia, orang beriman yang diuji apakah imanya
kepada Tuhan benar-benar kuat. Akan tetapi pastilah ia diberikan kebahagiaan
akhirat. Dengan demikian bisa disimpulkan berbuat baik dan terbaik kepada
manusia bukan merupakan kewajiban bagi Tuhan. Itu merupakan kehendak-Nya saja.
Apakah
Tuhan memberikan beban kepada manusia di luar kemampuan manusia itu sendiri?
Berdasarkan faham Kaum Mu’tazilah tentang keadilan
Tuhan, dan bila Tuhan memberikan beban di luar kemampuan manusia itu merupakan
hal yang tidak adil.
Bila Kaum Asy’ariyah ,mengatakan kalau Tuhan berhak
melakukan itu (memberikan beban di luar kemampuan manusia), karena Tuhan
memiliki kekuasaan yang mutlak.
Kaum Maturidiyah golongan Bukhara mengatakan bahwa
tidak mustahil bagi Tuhan memberikan beban yang melebihi manusia.
Dari penjelasan diatas, bila kita sandingkan dengan
sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, tidak mungkinlah Tuhan memberikan
beban di luar kemampuan manusia, karena di dalam al-Qur;an sudah dijelaskan
bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak dapat di atasi oleh umat
itu sendiri.
Haruskah
Tuhan mengirimkan Rasul-rasulNya?
Bagi kaum Mu’tazilah pengiriman Rasul tidak begitu
penting, karena rasul sebagai penyampai wahyu ia dapatkan kepada manusia lebih
banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa yang diketahui manusia
melalui akalnya.
Akan tetapi bagi kaum Asy’ariyah hal itu mempunyai
arti yang besar, karena Asy’ariyah bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan
dan alam ghaib, bahkan dalam menjalani kehidupan di dunia.
Rasul merupakan penyampai wahyu/ajaran Tuhan, bila
Tuhan tidak mengirim Rasul bagaimana bisa manusia tahu yang mana perilaku yang
benar-benar dikehendaki Tuhan dan bagaimana manusia bisa mengenal Tuhan. Bila
Rasul tidak dikirim pastilah para manusia akan bertanya-tanya siapakah yang
menciptakan mereka?apakah manusia tiba-tiba muncul tak ada yang menciptakan?
Memang akal bisa diciptakan untuk berpikir, untuk
mengetahui banyak hal, tetap saja apakah akal bisa menjelaskan sesuatu yang
manusia saja tidak bisa melihat, tidak bisa disentuh, belum mengetahuinya.
Pemikiran adalah cara kerja akal dalam memperoleh pengetahuan berdasarkan
pengetahuan yang sudah didapat. Pengetahuan yang sudah didapat, bisa berasal
dari proses trial-error dan seseorang yang memberitahu, seperti Rasul. Apakan
pengetahuan tentang Tuhan dan alam ghaib bisa didapat dengan proses trial-error?
Melihat dan menyentuhnya saja tidak bisa, bagaimana hal demikian bisa terjadi.
Dengan demikian pentingnya peran Rasul sebagai penyampai berita dari Tuhan.
Apakah
Tuhan akan menepati janji dan menjalankan ancamanNya?
Faham ini merupakan salah satu dari lima dasar
kepercayaan kaum Mu’tazilah. Tapi bagi kaum Asy’ariyah faham ini tidak bisa
berjalan sejajar dengan faham mereka, bagi mereka Tuhan bisa saja membatalkan ancaman
bagi seseorang manusia atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi
kaum Maturudiyah dari kedua golongan setuju dengan faham ini, karena tidak
mungkin Tuhan melanggar janji-Nya.
Tuhan mempunyai sifat-sifat yang baik, tidak
mungkinlah Tuhan mempunyai sifat dusta dengan tidak menepati janji dan
menjalankan ancaman seperti yang sudah Ia katakan dalam kitab suci.
Kesimpulan
1.
Tuhan tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia,
karena bila punya kewajiban Ia bukanlah Tuhan.
2.
Tuhan tidak mempunyai kewajiban berbuat baik dan
memberikan yang terbaik pada manusia, akan tetapi Tuhan pasti memberikan hal
yang terbaik bagi manusia yang beriman pada-Nya.
3.
Tuhan tidak akan memberikan beban yang tidak bisa di
atasi oleh manusia itu sendiri.
4.
Pengiriman Rasul merupakan hal yang sangat penting
bagi umat manusia agar tidak tersesat dalam kehidupan yang di jalani.
5.
Tuhan pasti akan menepati janji yang Ia katakan bagi
umat manusia yang menjalankan perintah-perintah-Nya dengan ikhlas karena-Nya
dan juga akan menjalankan ancaman-Nya untuk manusia yang melanggar
perintah-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar